Di
sebuah warung kecil, seorang perempuan duduk dengan tenang. Sore itu tidak
membawa keistimewaan apa pun, hanya angin yang lewat perlahan, suara seng yang
bergetar oleh sentuhan waktu, dan aroma jajanan dari etalase kecil di
sampingnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda darinya, ketenangan yang terasa
seperti bisikan, bukan pameran, Ia menunduk sedikit, menyusun bentuk hati
dengan jemari mungilnya. Sederhana. Tetapi dalam kesederhanaan itu, hidupnya
akhirnya bisa kembali bernapas.
Namun
perlahan, ia belajar satu hal yang tak pernah diajarkan di sekolah mana pun:
“hidup tidak meminta kita kuat setiap hari, hidup hanya meminta kita jujur pada
diri sendiri”.
Dan
kejujuran itu bagi banyak orang adalah kesakitan yang paling pahit, Sebab jujur
berarti mengakui bahwa ia pernah rapuh, Bahwa ia pernah iri pada kehidupan
orang lain, Bahwa ia pernah merasa tidak cukup, tidak sesempurna seperti yang
ia lihat disetiap hari. Bahwa ia bahagia, tetapi tidak sebahagia yang ia
pamerkan di hadapan dunia, Ia adalah perempuan yang dulu melihat dunia dalam
warna kelabu. Kekurangan, kegagalan, kehilangan semua menempel pada langkahnya
seperti bayangan panjang. Ia pernah meyakini bahwa hidup tak akan memberinya
warna lagi, dan bahkan ia tak punya alasan untuk tersenyum.
Hingga
suatu hari, seorang teman lama menatapnya dan berkata pelan,
“Kamu hanya perlu melihat dunia dengan warna yang kamu pilih sendiri.” Ia tidak
mengerti saat itu. Tapi kalimat itu benar-benar menempel di hatinya dan tak
pernah pergi.
Hari-hari
berikutnya, ia mulai belajar melihat hidup dari sudut yang lebih lembut. Tidak
terburu-buru. Tidak memaksa diri untuk bahagia. Ia hanya ingin menerima,
menerima bahwa hidup bisa kejam, tetapi ia pun bisa kuat, menerima bahwa luka
itu nyata, namun ia berhak sembuh, menerima bahwa ia layak mendapatkan hari
yang lebih cerah.
Ketika
menggenakan kacamata Rose-Tin itu, dunia tetap sama, rumah-rumah sederhana,
langit yang kadang cerah, kadang mendung, awan yang kadang mengepul, kadang
hilang sama sekali. Kacamata itu tidak mengubah dunia. Namun ia mengubah
caranya memandang dunia, Lensa itu menjadi pengingat bahwa hidup bisa lebih
lembut bila ia memberi ruang untuk harapan, Kini, di meja warung kecil itu, ia
duduk dengan pose imut yang jenaka, kedua tangan menyusun bentuk hati di
samping pipinya. Senyumnya bukan lagi senyum yang dipaksakan kemaren. Itu
adalah senyum seseorang yang telah berdamai dengan masa lalu, yang perlahan
memanggil kembali dirinya yang dulu hilang.
Di
balik rose-tint itu juga, ia belajar melihat dunia dengan warna yang lebih
hangat dan dengan cara yang sama, ia belajar melihat dirinya sendiri, sehingga Pada
sore itu, ketika angin mengibaskan ujung hijabnya, ia mengerti satu hal yang
sederhana tetapi besar memberikan makna “. Bukan untuk orang lain, Bukan untuk
memikat dunia, Melainkan untuk dirinya sendiri.
Sebab
hanya diri kita yang benar-benar mengerti apa yang kita butuhkan, apa yang
menyakitkan, dan apa yang membuat kita bertahan. Orang lain mungkin melihat
kekurangan kita, mungkin menilai penampilannya terlalu berani, terlalu berlebihan
dalam penampilan, terlalu narsis dalam bergaya. Tapi apa pun kata mereka,
setiap sisi memiliki makna yang berbeda, meski terlihat sama, karena ada
kalanya Tidak semua orang melihat dari sisi yang sama. Apa yang dianggap buruk
oleh seseorang, bisa menjadi kebaikan bagi orang lain, Karena sungguh, tidak
ada yang sempurna di dunia ini, semuanya fana dan sementara.
Kacamata
rose-tint itu bukan jimat atau pelarian. Bukan pula pemanis untuk menarik
pandangan orang. Itu hanyalah pengingat bahwa perspektif dapat mengubah
segalanya. Bahwa mata yang sama bisa melihat dua dunia berbeda, tergantung
bagaimana hati memilih untuk memahami, atau Mungkin orang lain hanya melihat
seorang perempuan yang berpose lucu, Tapi sesungguhnya, di balik pose dan
ketenangannya, ia sedang membangun kembali dirinya yang dulu pernah runtuh. Ia
sedang mengobati luka yang dulu digoreskan hidup. Ia sedang menyulam kembali
waktu yang sempat ia abaikan.
Dan
ketika senja akhirnya merayap turun, meninggalkan garis cahaya terakhir di
pinggir langit, ia merasakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia temukan, keberanian
untuk melanjutkan hidup meski hatinya masih menyimpan bekas luka, Ia menutup
matanya sejenak, membiarkan angin menyentuh pipinya, seakan menghapus setiap
jejak pedih yang pernah ia sembunyikan. Ia tahu, dunia tak tiba-tiba berubah
menjadi lebih baik hanya karena sepasang kacamata. Tetapi dirinya yang dulu
terjatuh, dulu terkubur dalam kelabu telah mulai bangkit dengan cara yang pelan
namun pasti.
Kacamata
rose-tint itu hanyalah benda kecil, namun di baliknya tersembunyi keputusan
terbesar yang pernah ia buat, keputusan untuk hidup meski ia pernah ingin
berhenti, keputusan untuk tersenyum meski hatinya pernah remuk, keputusan untuk
percaya bahwa ada hari esok, meski malam-malamnya dulu terasa tak berujung, Ia
membuka matanya kembali, menatap dunia yang sama, tetapi dengan jiwa yang
berbeda.
Kini ia tahu… luka tidak selalu hilang. Tapi setiap luka yang bertahan, kelak
akan menjadi saksi bahwa ia pernah melawan, pernah bertahan, dan pernah memilih
hidup, Dan saat ia berdiri dari kursi warung itu, ia tidak hanya bangkit dari
duduknya tapi ia bangkit dari masa lalunya, Langkah kecilnya menggemakan satu
kebenaran yang tidak dapat dibantah siapa pun, Akhir ia tahu di balik rose-tint itu, ia akhirnya melihat
bahwa dirinya, layak untuk bahagia.

















